Menyingkap Pesona Bumi Melayu

  • Info Kelana

    Masjid Raya Senapelan, Saksi Bisu Perjalanan Kota Pekanbaru

    Awalnya Pekanbaru dikenal dengan nama “Senapelan” yang pada masa itu masih dipimpin oleh seorang Kepala Suku yang disebut Batin. Senapelan yang letaknya strategis membuat kawasan ini terus berkembang menjadi kawasan pemukiman baru yang menjadi Dusun Payung Sekaki yang terletak di Muara Sungai Siak. Payung Sekaki atau Senapelan memegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan. Didukung oleh letak Senapelan yang strategis dan kondisi Sungai Siak yang tenang membuat perkampungan ini memegang posisi silang baik dari pedalaman Tapung maupun pedalaman Minangkabau dan Kampar. Semakin pesatnya aktivitas perdagangannya, maka dibuatlah sebuah “Pekan” atau pasar yang baru, Pekan yang baru inilah yang dikenal oleh masyarakat dengan nama “Pekanbaru”.

    Masjid Raya Senapelan menjadi saksi bisu perjalanan kota Pekanbaru tersebut. Diawali dengan perkembangan Senapelan yang sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Di masa kekuasan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, beliau memindahkan dan menjadikan Senapelan sebagai pusat Kerajaan Siak. Kerajaan Siak yang menganut sistem “Tali Berpilin Tiga” atau “Tungku Tiga Sejarangan” membuat perpindahan pusat kerajaan tersebut harus pula diikuti oleh ketiga unsur penting yang harus tetap dijaga, yaitu : Raja, Adat, dan Agama. Oleh karena itu pula, disetiap pusat kerajaan akan ditemui Istana sebagai simbol dari keberadaan raja, Balai Kerapatan sebagai simbol adat, dan masjid sebagai simbol agama. Jika pusat pemerintahan kerajaan kembali berpindah, maka raja akan membangun kembali 3 unsur ini.

    Di akhir tahun 1762 dilakukanlah upacara “menaiki” sekaligus diadakan shalat jumát. Imam dan khatib pertama saat itu adalah ulama besar Kerajaan Siak yang juga menantu Sultan yakni Sayyid Osman Syahabuddin. Upacara “menaiki” adalah bukti perpindahan pusat kerajaan. Bangunan istana diberi nama “Istana Bukit”, “Balai Payung Sekaki” nama dari balai kerapatan adat dan “Mesjid Alam” sebagai simbol agama kerajaan yang merupakan awal dari masjid senapelan dan nama tersebut diambil dari nama kecil Sultan Alamuddin yaitu Raja Alam.

    Sejalan dengan perkembangannya, Sebagai pusat dakwah dalam menyebarkan agama Islam, Masjid Alam tidak lagi cukup menampung para Jemaah yang menuntut ilmu. Atas dasar tersebut, dilakukan musyawarah antara Sultan Muhammad Ali, Sayyid Osman, Datuk Empat Suku beserta pembesar lainnya yang hasil musyawarahnya adalah disepakati untuk memperbesar masjid tersebut.

    Pekerjaan membesarkan bangunan Masjid dilakukan pada tahun 1775 yang pengerjaannya dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai sokopusaka negeri. Adapun bangunan masjid yang diperbaharui adalah Keempat “Tiang Seri” yang disedikan oleh Datuk Empat Suku yang bermakna Tiang Pemerintahan Pemegang Adat, “Kubah Masjid” yang disediakan oleh Sultan Muhammad Ali yang bermakna Pucuk pemerintahan pemegang daulat. Serta “Tiang Tua” yang disediakan oleh Sayid Osman yang bermakna Tiang agama pemegang hukum syarak. Cara ini merupakan kesatuan antara Pemerintah, Ulama, Adat, dan masyarakat yang kemudian acuan ini dikekalkan di Kerajaan Siak. Perbesaran masjid ini juga diikuti dengan pergantian nama masjid dari Masjid Alam menjadi Masjid Nur Alam.

    Renovasipun terus berlanjut, Pada tahun 1779 pada masa Sultan Ismail (1779-1781), Masjid Nur Alam diberi selasar (teras) yang diperuntukkan untuk tempat peziarah duduk dan sekaligus tempat pemberian/pelafasan gelar. Sejak saat itu, banyak masjid yang dibangun juga menggunakan selasar setidaknya disatu sisi masjid.

    Masjid Nur Alam baru diperbaiki kembali dengan memperbesar selasarnya pada masa pemerintahan Sultan Ismail II (1827-1864). Perubahan baru masjid terjadi ketika masa Tengku Putera Sayid Hasyil yang pada masa itu Masjid Nur Alam dipindahkan 40 langkah dari posisi semula ke arah matahari hidup/terbit (timur). Sebutan pun berubah, dengan perpindahan posisi masjid oleh Sultan maka masjid ini terkenal dengan sebutan Masjid Sultan. Seiring berjalan, karena bangunannya lebih luas, maka disebut juga Masjid Besar atau Masjid Raya.

    Masjid Raya Senapelan Bagian Dalam. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya
    Renovasi Masjid Raya Senapelan Bagian Luar. Foto : Simas.Kemenag.go.id

    Dengan panjangnya sejarah yang ada, membuat Masjid Raya Pekanbaru atau Masjid Raya Senapelan ini menjadi masjid tertua di Pekanbaru. Terletak tidak jauh dari lokasi pasar bawah, Masjid ini mudah untuk ditemui yang terletak di Jalan Senapelan Kecamatan Senapelan. Hingga tulisan ini diterbitkan, renovasi masih tetap ada. Bagian dalam masjid telah bagus dengan berbagai hiasan yang ada. Di tengah masjid terdapat 4 tiang tanpa menyentuh atas masjid. Namun bagian luar masih tahap renovasi dan ruangan berwudu ada di bagian luar tanpa memiliki ruangan toilet. Disekitar Masjid juga ada makam keluarga kerajaan dan sebuah sumur tua yang mempunyai nilai magis. Wisatawan banyak berkunjung ke masjid dan mandi di sumur tua tersebut untuk membayar niat atau nazar yang dihajatkan sebelumnya.

    Makam Keluarga Kerajaan Siak di Sekitar Masjid Raya Senapelan. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya

    Masjid yang juga merupakan bukti Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di Pekanbaru (Senapelan) juga dapat dijadikan sebagai tempat menyelenggarakan Dakwah Islam/Tabliq Akbar, Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam, Menyelenggarakan Sholat Jumát dan juga Ibadah Sholat Fardhu.

    Penulis : Salman Syuhada
    Editor : Tantia Shecilia

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad