Tenun Songket, Kerajinan Masyarakat Melayu Riau
Tenun Songket Melayu Riau merupakan kain hasil kerajinan tangan orang-orang Melayu yang dilakukan dengan melalui proses menenun benang, yang diselingi dengan tenunan benang emas atau benang perak dengan ragam motif tenunan tertentu. Kain tenunan Songket Melayu Riau memiliki keunikan dan kaya akan nilai keindahan dan estetika sebagai gabungan unsur-unsur budaya yang melambangkan corak, pandangan dan pemikiran masyarakat Melayu. Ragam motif kain tenunan Songket sangat erat hubungannya antara manusia dengan alam baik hewan maupun tumbuhan. Ragam ini juga mencerminkan cara dan pandangan hidup umat manusia. Terdapat beberapa tenun Songket Melayu Riau antara lain ; Tenun Songket Melayu Siak, Tenun Songket Melayu Pekanbaru, dan Tenun Songket Indragiri.
Tenun Songket Melayu Siak
Orang pertama yang memperkenalkan tenun Siak adalah seorang perajin yang didatangkan dari Kerajaan Terangganu Malaysia pada masa pemerintahan Sultan sayid ali. Dari Terangganu, Wan Sitti Binti Wan Karim dibawa ke Siak Sri Indrapura. Beliau adalah seorang wanita yang cakap dan terampil dalam bertenun. Beliau mengajarkan bagaimana cara menenun kain songket.
Pada awalnya tenun yang diajarkan adalah tenun tumpu, kemudian bertukar ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan “Kik”. Kain yang dihasilkan disebut dengan kain tenun siak. Pada awalnya, kain tenun Siak ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja, terutama sultan dan para keluarga serta para pembesar kerjaan dikalangan Istana Siak. Kik adalah alat tenun yang sederhana, terbuat dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka kain yang dihasilkan tidaklah lebar, sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, sehingga harus disambung dua yang disebut dengan kain berkampuh. Untuk membuat kain tenun diperlukan bahan baku benang, baik benang sutera ataupun benang katun berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai oranamen atau hiasan.
Pada masa kerajaan, kain tenun siak merupakan bahan pakaian bagi orang-orang dikalangan kerajaan dalam lingkungan terbatas, yaitu hanya untuk keluarga sultan serta para pembesar kerajaan. Lama kelamaan, masyarakat umumpun banyak yang pintar bertenun, sehingga semakin berkembanglah tenun Siak ini sampai keluar negeri Siak. Bertenun dengan menggunakan kik ini memakan waktu yang cukup lama. Untuk menghasilkan sehelai kain diperlukan waktu 3-4 minggu.
Tenun Songket Melayu Siak. Foto : RiauDaily.com |
Songket Melayu Pekanbaru pada dasarnya berasal dari (turunan) Songket Melayu Siak. Bila dilirik dari sejarah seni dan budaya Melayu di Pekanbaru , bermula pada saat Kesultanan Siak memindahkan pusat pemerintahan sekaligus ibukota kerajaan dari mempura (Siak) ke Kampung Bukit, Senapelan (Pekanbaru) dan dari kawasan yang berada di tepian sungai Siak Itulah bermula negeri yang bernama Pekanbaru.
Tenun songket Melayu Pekanbaru digagas “Puan Gemilang Songket Negeri” Hj Evi Meiroza Herman. Bahkan apresiasi dan prestasi beliau mendapat penghargaan khusus dari Museum Rekor Indonesia (MURI). MURI menilai tenun songket Melayu memberikan inspirasi dan motivasi kaum perempuan. Tenun Songket Melayu Pekanbaru menimbulkan inspirasi kreatif yang dapat dikenakan kepada seluruh negara. Sebelumnya MURI juga memberikan penghargaan kepada tenun Songket Melayu Pekanbaru sebagai songket terpanjang di Indonesia pada tahun 2005. Selanjutnya 2008 kembali MURI memberikan penghargaan dengan panjang songket 45 meter. Sedangkan akhir 2009, dirinya mendapat Penghargaan Upakarti Jasa Pengabdian dari Kementrian Kebudayaan Indonesia. Motif songket menjadi andalannya, yaitu siku keluang, dengan artian kepribadian yang memiliki sikap dan tanggung jawab menjadi idaman setiap orang Melayu Riau.
Tenun Songket Melayu Pekanbaru. Foto : songketmelayuriau.blogspot.co.id |
Tenun Songket Indragiri
Songket Indragiri telah ada sejak puluhan tahun yang lalu di Kerajaan Indragiri. Asal mula kain tenun Indragiri dibawa oleh orang-orang perehu atau disebut dengan orang dagang yang menetap di Indragiri yang berpusat di Kota Rengat. Masyarakat pendatang ini oleh kerajaan Indragiri melalui Tenun Muda Indragiri, diberi suatu daerah untuk bermukiman sampai saat ini. Daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Dagang. Dari tempat inilah awal mula berkembangnya tenun Indragiri, dengan bahan baku berasal dari benang sutera.
Pada masa kejayaannya, Kerajaan Indragiri terkenal sebagai penghasil karet yang diperjual belikan sampai ke Singapura oleh pedagang Cina di Kota Rengat. Kepada pedagang Cina inilah tenun indragiri diperdagangkan dengan cara titip beli. Lama kelamaan karena kesulitan dalam mendapatkan benang sutera, maka bahan baku diganti dengan katun yang dipadukan dengan benang emas.
Pada awalnya alat tenun Indragiri adalah alat tenun tumpu, yang kemudian berganti dengan nama Kik dan ATBM. Bertenun dengan menggunkan Kik, sama halnya dengan tenun siak, akan memakan waktu hampir satu bulan untuk menyelesaikan satu helai kain. Bertenun ini juga dilakukan oleh para wanita yang pada mulanya adalah untuk keperluan sendiri, kemudian berkembang menjadi usaha rumah tangga.
Pada masa tertentu sesudah berakhirnya masa Kerajaan Indragiri, tenun ini sempat menghilang dan sulit dicari. Kain hasil tenunan lama tersebut hanya dimiliki orang – orang tertentu, yaitu keluarga raja atau pembesar kerajaan yang menyimpannya dengan hati-hati sekali. Barulah pada sekitar tahun 1992, Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu kembali mengkaji dan mengangkat tenun ini dan menumbuhkan kembali tenun songket indragiri.
Dikabupaten Indragiri Hilir , khususnya di Kecamatan Khairiah Mandah, masyarakat Melayu juga membuat kerajinan tenun songket dengan alat tenun tumpu. Motif-motif yang dipakai tidak menggunakan benang emas. Tenun ini banyak memiliki kesamaan dengan tenun Bugis. Kerajaan tenun songket di daerah Indraggiri Hilir juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang dari Sulawesi Selatan (suku bugis) yang merantau ke Negeri Seribu Parit Indragiri Hilir untuk berkebun kelapa dan membuka lahan pertanian. Keterampilan bertenun yang telah mereka miliki didaerah asalnya mereka kembangkan di tempat yang baru. Mereka yang memiliki keterampilan bertenun membawa alat-alat tenun tradisional yang mereka sebut “godokan”. Berkat pembinaan Pemerintah dan Dekranasda Kabupaten Indragiri Hilir, alat tenun tradisional kemudian ditingkatkan menjadi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Saat ini, industri kerajinan tenun Songket Indragiri Hilir telah menyebar ke beberapa wilayah di Kabupaten Indragiri Hilir.
Penulis : Tantia Shecilia
Tulisan dirangkum dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar