Menyingkap Pesona Bumi Melayu

  • Info Kelana

    Festival Subayang, Potret Kecil Budaya Rimbang Baling

    Salah satu budaya yang terdapat di Rimbang Baling, Kabupaten Kampar Kiri, Riau, adalah Festival Subayang. Festival Subayang merupakan kegiatan yang digagas oleh Dody Rasyid, yang merupakan warga Desa Aur Kuning sekaligus pemilik Bengkel Seni Rantau Kampar Kiri. Bekerjasama dengan WWF, kegiatan ini dibentuk untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat agar lebih mencintai budaya mereka. Harapannya, melalui kegiatan ini masyarakat tidak hanya menjaga kebudayaan mereka namun juga turut melestarikan alam dan lingkungan mereka. Bulan Mei 2016 lalu, Desa Tanjung Beringin dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Festival Subayang yang pertama.

    Untuk menuju ke sana, terlebih dahulu kita harus sampai Desa Lipat Kain, Kampar Kiri, yang mana akan memakan waktu lebih kurang 3 jam dari Pekanbaru jika menggunakan kendaraan roda empat. Sesampainya di Desa Lipat Kain, perjalanan dilanjutkan dengan menempuh jalur sungai menggunakan piyau selama lebih kurang 1 jam, mengingat Desa Tanjung Beringin merupakan desa ke- dari 13 Desa yang ada di Rimbang Baling. Namun, untuk hari biasa, tidak sembarang orang yang bisa memasuki kawasan Rimbang Baling. Harus ada SIMAKSI dan aturan yang dipatuhi jika ingin memasuki kawasan konservasi seperti Rimbang Baling.

    Sembari menyusuri desa yang terbilang kecil, terlihat rumah warga yang berjejer begitu banyak. Rapat dan ramai. Tersedia pula berbagai jajanan yang dijual oleh warga di depan rumah mereka dalam rangka memeriahkan Festival Subayang, mulai dari martabak manis, sate, mie ayam, bakso bakar, lotek hingga lauk pauk.

    Kegiatan Festival Subayang dibuka dengan tradisi Mencokau Lauak di Lubuk Larangan, yang dilakukan pagi hari. Kegiatan ini merupakan kegiatan panen ikan dari lubuk larangan yang hanya setahun sekali bisa dipanen di tiap wilayah desa. Terdapat nilai konservasi dalam hukum adat yang berlaku untuk lubuk larangan ini karena lubuk larangan merupakan bagian sungai yang cukup memiliki kedalaman yang sesuai sebagai tempat tinggal ikan, sehingga terdapat larangan untuk mengambil ikan yang ada di sana. Jika itu dilanggar, masyarakat yang melakukan akan sakit.

    Pelemparan Jala ke Lubuk Larangan. Foto : Erwin dan Dodi Rasyid

    Siangnya, festival dilanjutkan dengan kegiatan Pacu Bagalah. Kegiatan ini merupakan kegiatan harian masyarakat Rimbang Baling terkait dengan transportasi. Mereka menggunakan perahu dengan alat bantu yang disebut galah. Dahulunya, sebelum ada mesin, galah lah yang digunakan masyarakat untuk mendayu perahu, terutama di air deras. Serunya lagi, kegiatan ini dilombakan antar desa. Ada peserta yang masuk ke sungai, bahkan ada peserta yang pindah ke perahu lawan karena perahu mereka berdempetan saat perlombaan sedang berlangsung. Tawa penonton pun pecah.

    Pacu Bagalah. Foto : WWFID/M. Afdhal

    Malamnya, kegiatan Gondang Oguang Batimang diadakan. Gondang Oguang Batimang merupakan musik tradisional yang dikombinasikan dengan syair tradisi. Di dalamnya terdapat tradisi-tradisi yang di beberapa desa telah hilang. Kegiatan ini juga dilombakan antar desa, dengan menampilkan pertunjukan yang berbeda-beda tiap desa. Penonton yang hadir bersorak, seakan telah lama mengharapkan pertunjukan seperti ini diadakan di Desa mereka. Di malam yang sama juga diadakan pementasan tradisi seperti pencak silat, teater rakyat, tari kreasi, dan musik komposisi.

    Sema Rantau. Foto : WWFID/ M. Afdhal

    Sema Rantau. Foto : WWFID/ M. Afdhal

    Rangkaian kegiatan terakhir, yaitu Sema Rantau. Sema Rantau merupakan pengungkapan rasa syukur masyarakat yang dibalut dalam prosesi kebudayaan yang saklar. Dalam kegiatan ini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat mulai dari berdoa untuk keselamatan desa, kemudian beriringan membawa sesaji dan simbol-simbol kebesaran (dalam hal ini kepala kerbau) yang nantinya disembahkan untuk leluhur dengan cara menghanyutkan kepala kerbau tadi. Lokasi tempat dihanyutkannya kepala kerbau harus ditempuh bersama-sama menggunakan piyau yang telah dihias seindah mungkin. Lalu, piyau-piyau lain mengikutinya dari belakang. Untuk anda yang belum sempat melihat keseruan festival ini, jangan khawatir karena Festival Subayang akan diadakan tiap tahun, di desa yang berbeda pula tentunya.


    Penulis : Tantia Shecilia


    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad