Mencokau Ikan di Lubuk Larangan
Selain Festival Subayang, ada satu lagi budaya yang dimiliki oleh masyarakat Subayang yaitu memelihara sebagian sungai yang disebut dengan Lubuk Larangan. Lubuk larangan merupakan suatu kawasan di sepanjang sungai yang telah disepakati bersama sebagai kawasan terlarang untuk mengambil ikan baik dengan cara apapun apalagi dengan cara yang dapat merusak lingkungan sungai. Kesepakatan ini tertuang dalam aturan adat dan hukum adat yang berlaku untuk komunitas adat Rantau Kampar Kiri.
Dahulu, pada tahun 1978, rumah-rumah warga serta masjid di Desa Tanjung Belit rusak akibat terjadinya banjir bandang Sungai Subayang. Untuk membangun mesjid dan memperbaiki rumah warga yang rusak, masyarakat membutuhkan dana yang tidak sedikit, ditambah lagi bantuan dari pemerintah saat itu tidak ada. Lalu, warga berinisiatif membentuk suatu tempat untuk melestarikan ikan yang dikenal dengan lubuk larangan tadi. Nantinya, dana yang diperoleh dari penjualan ikan tersebut akan dialokasikan untuk pembangunan masjid dan kebutuhan kampung lainnya. Sejak saat itu hingga kini, lubuk larangan terus dilestarikan.
Kawasan ini memiliki kedalaman 3-4 meter yang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan-ikan besar (dalam bahasa lokal disebut bangkagh atau sarang ikan seperti Ikan Tapa, Geso, Belida dan lainnya. Masyarakat juga meyakini siapapun yang mengambil ikan di wilayah ini atau melanggar aturan yang ada, akan mendapatkan bencana. Kawasan yang menjadi lubuk larangan ditandai dengan tali yang melintang di atas sungai. Ikan-ikan didalamnya juga unik, mereka bisa mengetahui batas lubuk larangan dan tidak akan keluar dari batas itu. Jika melewati batas, ikan-ikan itu boleh diambil oleh siapapun.
Masyarakat adat yang berdiam di sepanjang Sungai Subayang bersama-sama menjaga lubuk larangan ini, salah satunya dengan melakukan tradisi “Baliak Batobo Mancokau Ikan di Lubuk Larangan”, suatu tradisi yang berarti pulang bersama dan berkumpul bersama di kampung untuk melaksanakan panen ikan di lubuk larangan. Dahulunya, tidak semua orang di Subayang yang melakukan hal ini. Namun, setelah orang-orang melihat banyak keuntungan dan manfaat yang didapat, maka hingga kini tradisi Mancokau ikan di lubuk larangan terus membudaya. Proses diperbolehkannya Mencokau (memanen) ikan di lubuk larangan akan tiba waktunya apabila adanya keputusan dan kesepakatan dari Musyawarah Adat. Pemanenan ikan biasanya dilakukan setahun sekali, misal pada musim kemarau atau menjelang Idul Fitri. Penangkapan ikan didalam lubuk larangan tidak di perkenankan untuk memakai alat yang bersifat memusnahkan ikan, seperti racun. Alat yang diperkenankan untuk di pakai yaitu jaring, jala dan senapan dengan anak panah besi (mirip harpoon).
Pelemparan Jala Pertama ke Lubuk Larangan. Foto : Erwin dan Dodi Rasyid |
Setelah ditentukan kesepakatan hari yang sesuai oleh ninik mamak (pemangku adat), maka pemuda dan masyarakat bersama-sama mempersiapkan lokasi, yaitu dengan membentuk pagar di sekitar lubuk larangan yang berfungsi untuk tempat menempelnya jaring terbuat dari benang atau tali plastik. Pemasangan jaring berfungsi untuk mencegah atau menghambat ikan- ikan yang ada di lubuk larangan agar tidak ada yang akan lari keluar sewaktu proses panen dilakukan. Mencokau dimulai dengan memainkan musik tradisional seperti musik celempong dan gendang gong. Dengan memakai pakaian adat yang lengkap, yaitu baju teluk belanga panjang tangan dan celana lebar yang serba Hitam, para ninik mamak turun ke sungai (lubuk larangan) untuk melakukan campak pertama (lempar jala pertama). Untuk hasil tangkapan ikan yang beratnya dibawah 1 kg akan dibagi-bagikan secara merata kepada masyarakat sedangkan untuk ikan yang beratnya diatas 1 kg akan dilelang dan uang hasil pelelangan digunakan untuk kas desa.
Pelelangan Ikan Hasil Panen di Lubuk Larangan. Foto : Erwin dan Dodi Rasyid |
Tidak hanya sebagai pemasukan kas desa, tradisi ini juga mampu memberikan rasa persaudaraan yang kuat, meningkatkan gotongroyong, menciptakan rasa kekompakan masyarakat, menumbuhkan rasa peduli terhadap kampung yang tinggi, dan berperan dalam pelestarian ikan dan sungai termasuk hutan yang disekelilingnya. Selain masyarakat lokal, pendatang luar juga diperbolehkan untuk menangkap ikan selagi masih mengikuti aturan yang telah disepakati.
Penulis : Tantia Shecilia
Penulis : Tantia Shecilia
Tidak ada komentar