Menyingkap Pesona Bumi Melayu

  • Info Kelana

    Candi Muara Takus, Jejak Peninggalan Agama Budha di Bumi Melayu

    Candi Muara Takus adalah salah satu dari beberapa candi Budha di Indonesia. Candi ini membuktikan bahwa pernah ada eksistensi agama Budha beberapa abad silam di kawasan Riau yang mayoritasnya beragama Islam. Para arkeolog belum dapat menentukan kapan candi ini didirikan secara pasti, namun mereka sepakat bahwa Candi ini berdiri pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya abad VII-XII Masehi. Candi ini merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau, dan pada tahun 2009 sempat dicalonkan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO. 

    Kompleks Candi Muara Takus. Foto : www.KebudayaanIndonesia.net

    Terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari pusat Kota Pekanbaru. Lokasinya tidak jauh dari Pinggir Sungai Kampar, sekitar 2,5 kilometer dari pusat Desa Muara Takus menuju kompleks candi. Tidak perlu khawatir jika ingin berlibur ke Candi Muara Takus, karena di area candi banyak terdapat rumah makan, kios penjual makanan ringan, kios souvenir dan beberapa penginapan atau hotel. 

    Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok kurang lebih 80 centimeter, di luar arealnya juga terdapat tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks candi sampai ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi Sulung/Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai dan Palangka. Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri tergolong unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, mirip dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus. Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek “terang” yang dapat mengalahkan aspek “jahat”. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dikaitkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai “Singa dari Keluarga Sakya”. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai “suara” (Simhanada) yang terdengar keras ke seluruh penjuru mata angin.  

    Candi Bungsu. Foto : candi1001.blogspot.com
    Candi Palangka. Foto : verseofuniverse.blogspot.com
    Nama candi ini berasal dari nama anak sungai yang bermuara ke Batang Kampar Kanan. Arti “Muara” yaitu suatu tempat dimana anak sungai mengakhiri alirannya ke laut. Sedangkan “Takus” berasal dari Bahasa Cina yaitu “Ta” yang berarti besar, “Ku” berarti tua, dan “Se” berarti candi. Jadi, Candi Muara Takus berarti bangunan candi tua megah di muara sungai. 


    Candi Tua dan Candi Mahligai. Foto : verseofuniverse.blogspot.com
    Konon, masyarakat setempat percaya bahwa Candi Muara Takus dibangun berdasarkan permintaan seorang putri yang berasal dari India. Pembangunan candi ini merupakan syarat kesediaan putri tersebut untuk dibawa oleh Datuk Tiga Ahli ke Muara Takus setelah berlayar dari India. Di kalangan masyarakat setempat putri tersebut dikenal sebagai Putri Reno Wulan atau Putri Induk Dunia. Sang Putri meminta dibuatkan candi yang serupa dengan candi di tempatnya berasal. Hal itulah yang menyebabkan Candi Muara Takus mempunyai kemiripan dengan Candi Ashoka di India. Fenomena lain yang dahulu konon disaksikan oleh masyarakat sekitar yaitu adanya seekor gajah putih yang memimpin sekelompok gajah lainnya pada malam hari saat bulan purnama. Gajah-gajah tersebut mendatangi candi dan melakukan posisi seperti sujud abdi menyembah kepada junjungannya. Kemudian sekelompok gajah yang kurang lebih berjumlah 30 ekor tersebut mengelilingi Candi Muara Takus. 

    Bila dihubungkan dengan mitologi Budha, gajah merupakan salah satu wujud reinkarnasi Budha, juga sebagai simbol dan kendaraan seorang raja. Fenomena tersebut menandakan adanya kehidupan peradaban Budha di Riau pada masa lampau. Keberadaan Candi Muara Takus di Riau memang terasa cukup ganjil. Sebab, di tengah-tengah peradaban Riau kini yang mayoritas berpondasikan pada ajaran Islam dan dilingkupi oleh ribuan bangunan masjid serta mushala, Candi Muara Takus merupakan satu-satunya situs candi Buddha yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi dan penghargaan masyarakat Melayu Riau terhadap situs budaya sangatlah tinggi, sehingga candi yang telah lama ditinggalkan fungsinya sejak abad ke-13 masehi lalu masih bisa kita temui pada saat ini. 

    Referensi (Data diolah) :
    - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1996), Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PSP I. Jakarta.
    - Soekmono, R., 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta.
    - Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius.
    - Suaka PSP Prov. Sumbar dan Riau, 1995. Buletin Arkeologi AMOGHAPASA. Batusangkar

    Penulis : Diva Pramudhya
    Editor : Tantia Shecilia

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad