Sejarah dan Perkembangan Masjid Djami’ Air Tiris Kampar
Riau adalah daerah Melayu dengan ragam budaya yang kental akan nuansa Islami. Di daerah ini ditemukan beberapa peninggalan sejarah yang mempunyai nilai seni tinggi dan merupakan bukti perkembangan Islam masa lalu. Salah satu peninggalan tersebut adalah masjid. Diantara sekian banyak masjid yang memiliki nilai historis, Masjid Djami’ Air Tiris termasuk yang paling menonjol. Masjid ini berlokasi di pinggir Sungai Kampar tepatnya di Pasar Usang, Air Tiris. Secara administrasi pemerintahan, saat ini Masjid Djami’ berada di wilayah Desa Tanjung Berulak, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang berjarak sekitar 54 km sebelah barat ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Tidak diperlukan biaya masuk untuk mengunjungi masjid, namun ada baiknya para pengunjung yang hadir menggunakan pakaian yang sopan dan pantas saat memasuki bangunan masjid. Jalur transportasi dari kota Pekanbaru menuju lokasi Masjid Djami’ terbilang baik dengan kondisi jalan beraspal dan dapat ditempuh dengan waktu kurang dari 90 menit dengan kecepatan berkendara yang sedang.
Mesjid Jami' dari depan. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya |
Nilai historis yang melekat pada Masjid Djami’ merupakan perpaduan antara aspek fisik dan non-fisik. Dari aspek fisik bangunannya, masjid yang dibangun di masa penjajahan Belanda ini ternyata memiliki arsitektur yang cukup unik. Begitupun konstruksi bangunan dan ukiran-ukiran yang terdapat di dalamnya sangatlah istimewa dan bernilai tinggi. Diakui bahwa bahan-bahan bangunan yang dipergunakan didapatkan dengan cara-cara yang istimewa pula. Faktor-faktor itulah yang membuat nilai sejarah masjid ini semakin menonjol diantara yang lainnya. Sementara dari aspek non-fisik, masjid itu menjadi simbol persatuan masyarakat Air Tiris dalam mengembangkan ajaran Agama Islam serta mengisi masjid ini dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Tampak Samping Masjid Jami'. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya |
Pembangunan Masjid Djami’ diusulkan oleh Datuk Ongku Mudo Songkal, yang pada suatu hari berjalan-jalan di Pasar Air Tiris, beliau tidak menemukan masjid untuk sholat berjamaah saat waktu sholat Dzuhur telah tiba. Beliau berfikir bahwa perlu adanya sebuah masjid di dalam pasar, melihat banyaknya warga yang beraktivitas di pasar tersebut. Hasil pemikiran ini beliau sampaikan kepada Datuk Palo dan diterima, kemudian diteruskan kepada Ninik Mamak XII Kenegrian Air Tiris. Menanggapi hal tersebut, para Ninik Mamak pun menggelar rapat di Kantor Kepala Negeri Air Tiris yang dipimpin oleh Datuk Palo. Pada rapat tersebut beliau menyampaikan usulan Datuk Ongku Mudo Songkal hingga Ninik Mamak XII Kenegrian Air Tiris pun setuju. Akhirnya semua sepakat untuk membangun masjid di tengah Pasar Air Tiris secara bergotong-royong bersama masyarakat sekitar.
Areal pembangunan masjid diperoleh dari tanah waqaf seluas 40 x 40 m milik Ninik Timaisa yang rumahnya berdekatan dengan areal tersebut. Setelah tanah didapat, maka berikutnya kayu untuk 4 tiang penyangga masjid dibebankan pencariannya kepada banjau (desa) Sawah, Nago Baralih, Tanjung Belit dan Batubelah. Sedangkan untuk batu Sondi (batu pondasi untuk mengokohkan tiang poenyangga) dicari oleh warga dan dikumpulkan dari Sungai Kampar. Proses pengumpulan bahan pembangunan masjid memakan waktu hingga 1 tahun. Proses pembangunannya sendiri dibentuk tanpa menggunakan paku dan tanpa menggunakan uang sepeserpun. Semuanya hasil dari gotong royong warga. Dalam kurun waktu 3 tahun, akhirnya Masjid Djami’ resmi berdiri pada hari Jum’at di tahun 1901 dengan bantuan seorang arsitek yang berasal dari Desa Batubelah yaitu H. Burhanudin. Pada masjid dapat kita temukan berbagai ukiran bermotif buah manggis yang memiliki filosofi kemakmuran dan motif matahari yang memiliki filosofi tanpa cahaya dunia akan gelap. Cahaya yang dimaksudkan di sini adalah cahaya tauhid atau keimanan pada Allah SWT.
Tiang Utama Masjid dari Banjau Tanjung Belit. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya |
Tiang Utama Masjid dari Banjau Sawah. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya |
Sepanjang pengerjaannya, banyak terdapat keanehan-keanehan diantaranya tiang yang berasal dari banjau Sawah dan Tanjung Belit. Pada saat masa pencariannya di hutan, batang pohonnya dapat terlihat dari jauh. Namun, saat didekati, pohon tersebut akan menghilang. Setelah berkonsultasi dengan tetua adat di sana, para pemuda diminta untuk mengumandangkan adzan saat mendekati pohon besar tersebut. Alhasil pohon itu pun dapat kembali terlihat dari dekat dan bisa ditebang. Lalu kedua batang pohon yang dijadikan tiang masjid tersebut ditandai dengan ukiran khusus. Berikutnya adalah pada saat hendak mendirikan tiang masjid, warga secara bersama-sama menghelo (menarik) tiang masjid namun tidak dapat terangkat sedikitpun. Setelah diusut oleh Datuk O. M. Songkal, barangkali penyebabnya adalah kehadiran orang Belanda yang ada di sekitar areal pembangunan Masjid Djami’, sehingga tiang tidak mau berdiri karena adanya orang kafir yang membaur dengan Muslim. Datuk O. M. Songkal dengan cerdasnya mengatakan kepada orang Belanda tersebut agar tidak mendekati areal pembangunan masjid, dikarenakan para warga tidak ingin membahayakan orang Belanda tersebut, mengingat lokasi kerja sangat rentan akan kecelakaan. Selanjutnya ada batu yang berbentuk kepala kerbau, dahulu batu ini akan dijadikan batu Sondi. Akan tetapi karena bentuknya yang tidak rata akhirnya batu ini diletakkan di halaman masjid. Selama diletakkan di halaman, letak batu ini dapat berpindah-pindah dan warga dapat mendengar suara erangan kerbau di malam hari. Ada pula yang pernah melihat batu ini mengeluarkan asap. Sekian lama waktu berjalan akhirnya batu ini tidak lagi berpindah tempat dan menetap di belakang masjid. Para tetua akhirnya sepakat untuk membuat kolam kecil atau bak air di sekitar batu kepala kerbau tersebut. Sehingga kini posisinya terendam di dalam bak dan hanya dapat berubah-ubah arah saja. Konon, Batu Kepala Kerbau ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit ringan dan melancarkan jodoh bagi siapa saja yang mandi atau meminum air dari kolam rendaman batu tersebut dengan seizin Allah SWT.
Batu Kepala Kerbau. Foto : Kelana Riau/Diva Pramudhya |
Selama masa berdirinya hingga sekarang Masjid Djami’ telah mengalami beberapa renovasi antara lain pada bagian atap yang telah diperbaharui pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tangga yang diubah dari kayu menjadi tangga semen dan pembaharuan kayu pada lantai masjid. Kegiatan rutin yang berlangsung hingga kini di Masjid Djami’ adalah sholat 5 waktu berjamaah dengan warga sekitar masjid yang mencakup sekitar 120 kepala keluarga. Adapula pengajian setiap Jum’at petang dan Sabtu malam yang mengundang ustadz dari RT dan RW setempat ataupun ustadz darin daerah luar Air Tiris khusus pada perayaan hari besar umat Islam. Selain itu juga ada panduan sejarah untuk wisatawan yang berkunjung pada waktu-waktu tertentu oleh penjaga masjid. Untuk para musafir dan jamaah tabligh diperbolehkan untuk menginap, Masjid Djami’ buka 24 jam dalam sehari untuk keperluan umat Islam.
Saat ini pengelolaan Masjid Djami’ Air Tiris masih dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Perhatian pemerintah sangat diharapkan untuk keberlangsungan masjid ini mengingat statusnya sebagai masjid tertua dengan konstruksi kayu yang masih bertahan hingga saat ini. Pada tahun 2017, Masjid Djami’ telah memasuki usia berjalan 106 tahun.
Penulis : Diva Pramudhya
Editor : Tantia Shecilia
Tidak ada komentar